Anak memang benar-benar unik dan beda. Anak pertamaku, Asahy Salsabila (10 tahun) sejak usia TK sudah menunjukkan “bakat” untuk menjadi anak yang tertib, disiplin, dan mandiri. Hingga kelas 1 di SD saat ini, tak pernah kami, saya dan isteri, mendapatkan gejala bahwa ia bermasalah dengan sekolahnya. Tak pernah sekali pun, dia mogok sekolah. Prestasinya di sekolah dan di rumah kadang membuat kami terharu. Rasa-rasanya kami tak menghadapi “ujian untuk bersabar” bila menghadapi si sulung itu. Alhamdulillah !
Soal-soal ujian bernama kesabaran itu, justeru diperkenalkan oleh jagoan kecil kami, Kafaris Arka Rayyan (4 tahun). Sebagai anak kedua, "Fale" he he he itu nama panggilan untuk anakku ini, menunjukkan keunikan sekaligus kelebihannya. Sejak bayi, putra kami ini menunjukkan kreativitasnya yang luar biasa. Di umur 13 bulan sudah minta di sapeh, Kalau menangis, suaranya keras melengking, dan susah untuk dihentikan. Belakangan, terlihat kemauannya keras, susah untuk dipatahkan. Bak diplomat ulung, “argumentasi-argumentasi” si kecil Fale susah untuk ditaklukkan.
Dalam hal sekolah, Fale menunjukkan gejala “tak mudah diatur”. Sejak masuk play group di usia 3 tahun, Fale sering kali menunjukkan “perlawanannya” dengan sekolah. Kalau akan berangkat sekolah, siap-siapnya lamaaa sekali, belum mau mandi kalau belum mimik susu dulu, dan setelah mandi gak mau pakai seragam sekolah, Sering terlambat masuk sekolah, dan sebagainya. Puncaknya ketika di akhir semester 1 KB, Fale “mengambil keputusan” untuk mogok sekolah. “Nggak ah… nggak mau ikut bunda..!” begitu selalu jawabannya. Mogok sekolah ini berlangsung cukup lama.
Fale sekolah di KB Al Abidin (sebelumnya bernama AIPAD / Al Abidin Pre School and Homey Daycare).
Saat itu, saya merasa tak ada yang patut dicemaskan dengan mogok sekolah itu. Dan satu hal yang paling saya ingat, saya berusaha untuk TIDAK MARAH. Kami tak ingin marah-marah. Apalagi mencak-mencak menyalahkan sekolah. Para guru di KB Al Abidin itu sudah sedemikian ikhlas dan berjuang keras mendidik anak saya. Tapi, mungkin juga ada sesuatu yang perlu dicari sebagai sumber masalah. Kami mencoba terus mengkomunikasikan masalah ini dengan para guru. Sebagian besar guru menyarankan, “biar saja Pak, nggak usah dipaksa.
Kami juga tidak marah-marah kepada si anak. Apalagi menakut-nakutinya, “nanti kalau nggak sekolah jadi bodoh, jadi miskin, dan sebagainya!”. Yang kami lakukan, kami mencoba untuk terus berdialog, “kenapa sih Fale nggak mau sekolah ?”. Hingga suatu saat terungkap dari bibir mungilnya : “mau di rumah saja, nggak mau sekolah !”. Kami kemudian mulai tersadar, benar juga, mungkin Fale bosan. Sejak umur setahun dan baru mulai bisa berjalan fale sudah dititipkan ditempat penitipan anak dan itupun mungkin dirasakan fale tidak senyaman di rumah sendiri karena suasananya selalu rame dan pengasuh yang tidak sabar dalam mengurus anak balita. Akhirnya karena fale nangis terus saat di bawa ke penitipan itu kami pindahkan fale ke tempat penitipan lain dan penitipan ini juga tidak lebih baik dari tempat penitipan yang pertama,,, rame, anak-anak di biarkan makan makanan yang jatuh ke lantai dan pengasuhnya ada yang kurang bersahabat dengan Fale.